Saatnya Bercinta
ditulis oleh: Ferry Arbania Sumenep
Saatnya Bercinta
Kita sudah sama-sama pubertas
Bulan dan langit sudah saling setia
memagari malam dengan cahaya rembulan
Pegang erat tangan ini kekasih
Kecuplah daun rindu yang mnelambai di relung sukma
Aku ingin hanya kau yang bisa mengusir resah di hati
Berbicaralah yang jujur
Peganglah janji kesetiaan nan tulus
Agar cinta bersemi dalam jiwa
Dirimu,diriku khan bersatu
Mereguk indahnya cinta
Yakinkan hati mu
Bahwa kau dan aku akan segera bertaut
mengembalikan sisa asa yang pernah kita tinggalkan
saat debar hati saling bersahutan
hingga pun pada kuntum mawar
yang menyemerbak aroma cinta
kau pun datang menyulut rindu di dada
oh,kekasih
ternyata kau semakin sempurna
mari kita berangkat ke kebun surgawi,
lihatlah ,bulan sudah mengembang dingakasa
cahayanya yang perawan
mengajak kita rengkuhan dalam peluk cinta
Sumenep,15 August 2006
Biodata Singkat Penulis
Penyair sekarang penyiar radio nada fm sumenep, wartawan juga . Lahir dan Tinggal di Sumenep,profesi yang digeluti antara lain adalah aktivis Komunitas Musik Musyafir,Ketua Treater Asap,Ketua Umum Study Seni-Budaya Sumenep (SSBS),Koordinator Umum Komunitas Seniman Berdaya.Profesi:Profesional MC,Penyair dan Penyiar Radio Nada Fmadura .Aktif juga diberbagai kegiatan sastra Madura,antara lain :Sebagai Penggiat Bengkel Sastra 7 Langit Sumenep,Pembawa Acara Sastra Udara Remaja di Radio Nada Fm Sumenep .Antologi Puisinya antara lain :Penjara Bulan (Teater Asap,1995),Sihir Rindu (Sanggar GEMA 2000),Gerimis Air Mata(Antologi bersama Penyair Madura 2001) dan Kumpulan Puisi terbarunya (belum terbit) Mushaf Mawar :Puisi Cinta dan Religius.
Kamis, 30 Juli 2009
Sang II
Ya..yang telah kabur dalam pandanganku
Akankah cinta-Mu
Mengental ?
Atau berapa banyak lagi
Yang musti ku pertimbangkan,
Sementara desah angin..
Telah mengantarkan syahwatku di rahim istriku
Aku tak ingin mencari –Mu
Kecuali dengan pencarian para musyafir
Dan aku takkan meminum anggur-Mu
Kecuali kasih-Mu telah
Mengusir kerakusan syaitoni ini
Sebab inilah transaksi diatas angin,ketika Muhammad mengabarkan percintaanya dengan-Mu,yang teramat rahasia
Angin telah menyatu dalam angan
Ketika perahu Nuh
Mengabarkan kematian Putranya
Dan inilah anak – anak peradaban
Yang lahir dan di besarkan
Dari layar televisi yang kian memabukkan
Tuhan ,Adakah Rabi’ah menyampaikan salamnya
Saat dunia tak lagi menawan ?
Senin, 27 Juli 2009
Kamis, 09 Juli 2009
Kusimpan Rindu
Ku simpan rindu ini,my heart
Ketika angin mengabarkan dirimu yang telah kelain hati
Jiwa menangis,terbakar sesal dan api cemburu
Begitu cepat kau akhiri segalanya
Disaat hati berbunga –bunga rasa
Disaat rindu telah membatu
Kau ciptakan prahara
Remuk redam seluruh bangunan cinta
Teganya kau akhiri segalanya
Tanpa sedikitpun sesal
kau telah membuatku seperti hidup
dalam Lumpur pengap
kesal dan sakit hati jadinya
Terima kasih my heart,
karena kau telah memperkenalkan aku sebongkah derita
bawalah sekeranjang kepalsuan yang kau punya
bersama ribuan hati yang siap menjadi gembala cintamu
yang busyet .
Pantai Lombeng 2006
sayap bimbang
sayap bimbang
Tuhan mengutusmu menjadi khalifah.Dan ibumu yang menitipkan sehelai bening putih dari jiwa sang Pujangga.Maka lahirlah persetruan musim dari titian masa yang menunggumu di saujana.Akh,begitu lihai jemari angin memainkan rindu,tanpa terasa kaupun menari dalam pukau burung nadiku.Padang angin.Padang tasbih.Dengung jiwa,menarilah para kekasih,meski dengan kepak sayap bimbang.
WAJAH-WAJAH LUMPUR
Karya :Ferry Arbania
Pak Bakier masih tertunduk lesu di beranda rumahnya.Ia menatap puing-puing sawahnya yang sudah mirip seperti dodol tepung gula jawa.Semburan Lumpur panas itu telah menutup terawang impian keluarganya.Ia menangis sejadi-jadinya,mirip si Umar cucu satu-satunya yang sebagian wajahnya kejiprat cairan lumpur ketan senja itu .Pak Bakier,masih masih dengan tatapannya yang nanar penuh kehawitaran,sesekali memijat-mijat kepalanya yang terasa pening.”Sebaiknya Bapak istirahat dulu,lagian bapak sedang tidak enak badan,ayo tak kerokin di dalam”.Bu Aminah istrinya memopong si kakek yang malang linglung itu memasuki pintu kamar yang terbuat dari potongan seng karat tua berlobang.Sesampainya di dalam kamar,Pak Bakrie mengambil sehelai kertas berwarna hitam pekat.”Tolong berikan surat ini pada Umar,aku sudah tak mampu membelikannya tisyu lagi,biarlah dia menyeka mukanya dengan kertas yang sudah ku bubuhi larutan minyak kelapa,barangkali bisa meringankan rasa perihnya”.Tubuh renta Pak Bakier direbahkan perlahan,diatas dipan yang terbuat dari kayu jati kusam yang di buat 61 tahun silam.Sambil membuka bajunya yang penuh lumpur,gigil tangannya bergerak pelan .Di tariknya kepala Bu Aminah yang setia sembari membisikkan sesuatu,”Bu,kalau aku benar-benar mati sebelum lebaran ketupat tahun ini,tolong kuburkan aku didekat sumur yang pertama kali membunuh tanaman sekaligus sawah dan masa depan anak cucu kita itu.Aku tidak akan kemana-mana,apalagi pergi mengungsi”. Lumpur-lumpur sial itu telah menenggelamkan tiga desa kebanggan kita.Tak ada cahaya kehidupan yang terlihat disana.Pohon-pohon bernyanyi dalam duka cita mendalam,tenggelam dan kering dalam rendaman lumpur . Sawah-sawah yang telah menjadi tumpuan hidup secara turun-temurun,kini tak terlihat sama sekali dan arealnya sudah berubah menjadi hamparan danau lumpur.”Pak,Bapak mau kemana,katanya mau kerokan,di luar banyak angin yang menerbangkan bau lumpur,ntar asma bapak tambah kambuh”.Tanpa menghiraukan panggilan istrinya Pak Bakier meninggalkan gubuknya.Sambil terhuyung-huyung dia segera bergabung dengan ratusan orang yang berbondong-bondong meninggalkan istana lumpur yang sudah mengeras dan mengubur sebagian bangunan mereka.Bangunan hatinya juga.
Senja merah kian berlabuh di ufuk barat.Dan malam sesaat lagi segera mengumandangkan laut kelam.Puluhan anak kecil berkumpul diatas tumpukan batu.Sebilah pisau di gosok-gosokkan perlahan,entah berapa lamanya,tiba-tiba seorang bocah muncul di belakang mereka dengan suara terengah-engah menghampiri anak yang paling tua,yang tidak lain adalah Umar ,cucu pak Bakier yang kini entah kemana.”Syaiful,kenapa kamu kemari,wajahmu kenapa,bukankah waktu terjadinya semburan lumpur didesa ini kamu sedang tinggal bersama tante kamu di Jakarta ?” Saiful terdiam sejenak.Tiba-tiba dari dalam sakunya ia mengeluarkan lembar kertas yang juga sudah berlepotan lumpur.”Tolong bacakan kertas yang sudah saya keliping dari salah satu harian umum pengemban amanat hati nurani rakyat ini ,dan maaf saya tidak bisa bermain dengan kalian,sebab tanteku sudah tidak betah lagi,dan malam ini akan segera kembali ke ibu kota.Maafkan saya Umar,maafkan saya teman-teman.Jangan lupa rajin-rajinlah belajar mencari hidup dalam lumpur.Selamat malam kawan-kawan.Sampai jumpa dilayar telivisi”.Setelah menyerahkan lembaran kertas koran kepada Umar dan menyalaminya mereka ,Syaiful pergi dengan tangis yang begitu mengharu-biru.
Malam kian kelam,cahaya bulan yang menyembul diatas lempengan kabut putih,seolah-olah tengah menangisi ribuan kuncup bunga yang sudah terkubur bersama ribuan asa yang melanglang buana diatas jejak kematian.”selamat malam nak,bisakah salah satu dari kalian mengantarkan saya ke rumah Pak Bakier,kalian kenal Pak Bakier khan ?”.Eh,Paman siapa,dari mana,kok kulit kami sama sekali beda dengan kulit yang terbungkus baju mahal paman,apakah paman seorang menteri yang ingin menolong nasib kami ?”.Anak-anak itu dengan sukarela mengantarkan laki-laki asing yang sengaja datang kedesa mereka untuk sekedar menemui pak Bakier yang konon namanya sudah terkenal dimana-mana.”Oh nak Pindo,kapan datang dari Timur Tengah ,ngg…Julaiha kok nggak ikut serta,apa dia ……………….”.”Katakan sejujurnya nak,apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan pada kami,lihatlah lumpur-lumpur yang melumpurkan wajah-wajah penghuni kampung ini.Rasa remuk,benar-benar remukkan jiwa kami nak.Coba bayangkan,luas kawasan ketiga desa yang terkubur lumpur sedikitnya delapan puluh hektar .Kemana kami bisa menikmati kembali aroma singkong rebus, aroma talas atau pada warna padi yang biasa menguning saat burung-burung kecil bersuka cita di sepanjang tanah yang sekarang...hohhh,ternyata hanya bisa dikenang”.Supindo,yang akrab disapa Pindo lagi-lagi terdiam mendengar pengaduan Bu Aminah yang amanah, menceritakan apa sebenarnya yang tengah melanda keluarga,sahabat,tetangga serta orang-orang yang nasibnya kian tak menentu akibat semburan bedak lumpur neraka buatan yang sama sekali tak diinginkan.Bahkan mengharuskan mereka, wajah-wajah mangsai nan berlumpur, terusir dari kampung halaman sendiri dan hidup dalam pengungsian yang mengerikan.”permisi,maaf bu saya harus mencari Pak Bakier sekarang juga.”Hallo,oh Pak DPR,baik Pak,iya,iya ,saya paham,semua ditanggung beres.Baik Pak silahkan baca besok di laporan khusus.Baik,pasti Pak.selamat malam”.
Sepertiga malam,suara angin yang hinggap didahan-dahan resah ,mengantarkan dengkur purnama dalam relung bumi yang pengap.Sementara itu di beranda rumah yang masih tersisa,seonggok kursi tua dan meja bundar mirip peci Pak Salim yang kemarin mati mendadak gara-gara terserang asap Lumpur hitam kelam yang menyeruak lewat atap rumah dan dinding rumahnya yang nyaris tak berwajah hunian lagi.Radio kebanggan Pak Bakier tengah memperdengarkan siaran News Radio terkemuka di Jawa Timur.”Penikmat nada/rencana dibangunya waduk Lumpur yang permanen/untuk menampung luapan Lumpur yang belum berhenti hingga hari ini/ kemarin mulai menimbulkan gejolak di tengah masyarakat//”akh sungguh tak berperasaan !ini jelas sudah sangat keterlaluan sekali.Ini bukan bencana alam Pak Pindo.Berantas saja semua rencana yang tak manusiawi itu.Coba pikir Pak,apa sih artinya sok perhatian sama rakyat ,tapi malah menambah kepedihan kami.Apakah layak desa kami ditenggelamkan hanya untuk membangun waduk kualat,hah ?!”.Coba nikmati lagu Godbless ini Pak.
“Hanya bilik bambu/tempat tinggal kita/tanpa hiasan/tanpa lukisan/beratap jerami/beralaskan tanah/namun semua ini/tinggal kita/memang semua ini milik kita….sendiri//
iya Bu,saya sudah menikmati syair lagunya.Mentyentuh sekali dan mits sekali dengan apa dirasakan oleh penghuni kampung yang kini pindah pada relung tangis pedih.Tapi,bagaimana kita mesti melawan musibah ini Bu ?.Pak Pindo,kami memang orang desa yang bodoh dan bisa dipermainkan.Namun satu hal yang harus bapak kenal dari kehidupan hati kami yang sebenarnya.Bahwa ini adalah tanah yang telah menyaksikan tangis pertama kami.dan ditanah ini pulalah,kami ingin dikubur.Ingat Pak !apa yang menimpa tanah kami bukan bencana alam.Bukankah masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk menanggulangi luapan Lumpur ini pak.Jadi nggak usah mengorbankan desa kami.Dan kalau keinginan itu harus terealisasikan dengan paksa,maka tujuan sebenarnya adalah untuk mengusir kami dari kehidupan yang menyesakkan ini.Sudah jelas semuanya Pak Pindo?.Jadi ……..
Ya waduk itu tak perlu dibangun dan desa ini tak perlu di musnahkan.Sebab bagaimanapun juga ,Lebih baik disini/di-rumah kita sendiri.Dirumah Lumpur yang senantiasa kami cintai dengan sepenuh jiwa raga kami.[saya bukan cerpenis..Dan ini hanya sebuah karya sastra kemanusiaan yang tidak pernah dikirm ke media apapun. Tanpa edit dan merupakan sebuah kado kemanusian yang ditulis oleh seorang wartwan yang juga penyiar radio.Ferry Arbania Sumenep Madura].Terima kasih Anda telah menyimaknya.Mohon saran dan kritiknya.
Di gerbang senja
Di gerbang senja
Kusam langit menidurkan lelah
Langit beratap tangis dan siul kabut
aku mabuk dalam tarian -Mu
Angin berjarak-jarak ditiang kota
Kau sadap suaraku dalam lipatan pandang
Puisi Emha
Begitu engkau bersujud, terbangunlah ruang yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali pula engkau dirikan masjidWahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid yang telah kau bangun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu meninggi, menembus langit, menemui alam makrifat
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan ke piring ke-ilahi-an, menjelma se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara adzan
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang Allah, engkaulah kiblat
Kalau telingamu mendengar yang didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau gerakan hatimu mencintai yang dicintai Allah, engkaulah ayatullah
Karirmu bersujud, rumah-tanggamu bersujud, sepi dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
Dan menjadilah engkau masjid.
"KAMU DIRACUNI OLEH OKNUM TERTENTU
NAMANYA TAWAR MENAWAR YANG TIDAK SEPADAN
KAMU DIHASUT
HATIMU DIBAKAR OLEH TAMU ASING
YANG DATANG DENGAN TOPI BAJA KEKUASAAN
KAMU DITUNGGANGI OLEH PIHAK KETIGA
YANG BERNAMA TEKANAN DAN DUKA DERITA"
cuplikan dari puisi
"menembus jantungmu sendiri"
1994